SISI LAIN COVID 19 BAGI DUNIA PENDIDIKAN
Sudah berbulan-bulan dunia, termasuk juga Indonesia, berada dalam cengkeraman Covid-19. Ketika banyak masyarakat dinyatakan positif terpapar virus corona, kondisi itu akhirnya memaksa pemerintah untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan secara tidak langsung memaksa masyarakat (sebagian besar) untuk tinggal di rumah, melakukan pekerjaan dari rumah, tidak terkecuali pada sektor pendidikan, belajar dan mengajar dari rumah. Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan “pembelajaran jarak jauh”, biasa kita dengar dengan istilah belajar online, atau istilah kerennya Home Based Learning (HBL).
Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Ibrahim, menerbitkan surat edaran tentang Study from Home (SFH) ‒istilah lain belajar dari rumah‒ pada bulan Maret 2020 yang lalu, hampir tiga bulan anak-anak belajar dari rumah untuk menghindari wabah Covid-19. Bahkan, kebijakan ini besar kemungkinan akan diteruskan hingga Desember nanti. Itu berarti, kemungkinan, ada 7-8 bulan lebih anak-anak akan belajar dari rumah. Menurut Nadiem, prinsip dikeluarkannya kebijakan pendidikan pada masa pandemi Covid-19 adalah dengan memprioritaskan kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat.
Lebih jauh Nadiem menegaskan, sekiranya di beberapa daerah kabupaten/kota “terpaksa” harus menjalankan pembelajaran tatap muka, harus dilakukan dengan persyaratan yang sangat ketat. Ada empat syarat menurutnya yang harus dipenuhi. Zona hijau menjadi syarat pertama dan utama yang wajib dipenuhi bagi satuan pendidikan yang akan melakukan pembelajaran tatap muka. Kedua, jika pemerintah daerah atau Kantor Wilayah/Kantor Kementerian Agama memberi izin. Ketiga, jika satuan pendidikan sudah memenuhi semua daftar periksa dan siap melakukan pembelajaran tatap muka. Keempat, orang tua/wali murid menyetujui putra/putrinya melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan. Menurut Nadiem, jika salah satu dari empat syarat tersebut tidak terpenuhi, peserta didik diwajibkan tetap melanjutkan belajar dari rumah secara penuh. Sementara itu, untuk daerah yang berada di zona kuning, oranye, dan merah, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lainnya yang masih merasakan dampak besar dari Covid-19 ini, dilarang melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan. Satuan pendidikan pada zona-zona tersebut tetap harus melanjutkan SFH.
Semua kita tentu memahami bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan sebuah krisis karena terjadi mendadak, tanpa peringatan, tanpa aba-aba. Itu sebabnya, tidak satu pun pemangku kepentingan siap, dipersiapkan, dan mempersiapkan diri mengatasinya sehingga penerapan SFH masih banyak kekurangan di sana sini. Akan tetapi, jika kita berpikir positif, banyak pelajaran berharga yang kita peroleh. Banyak pula praktik persekolahan ‒dalam arti moda pembelajaran‒ yang sebelumnya kita tolak, seperti belajar jarak jauh, home schooling, ujian sekolah dan semacamnya, selama SFH kita terapkan. Tidak berlebihan jika SFH telah mengembalikan pendidikan ke hakikatnya yang esensial, yaitu learning.
Bagi pendidik, guru saat ini tidak hanya belajar bagaimana mengajar, tetapi menjadikannya sebagai wadah, fasilitas, bahkan “pelatih” bagi para siswa. Peran guru sudah tidak bisa lagi untuk menilai kualitas siswa berdasarkan satu kelas saja, melainkan penilaian harus mulai dengan memperhatikan satu persatu peserta didiknya. Sebaliknya, bagi anak didik, siswa harus lebih fleksibel untuk bisa melihat kondisi di lapangan, misalnya dalam hal industri, ekonomi, terutama dalam hal teknologi. Sekarang ini, belajar bukan hanya untuk nilai semata, tetapi untuk kompetensi. Ibarat tahu sedikit tapi mendalam, lebih baik dibandingkan tahu banyak tapi dangkal. Dengan kata lain, proses pendidikan harus lebih banyak memberikan praktik-praktik kepada para siswa secara langsung dan meninggalkan sistem lama yang hanya berpatokan kepada nilai semata.
Namun, melakukan SFH tentulah tidak mudah. Sebagai seorang pendidik, penulis juga sangat merasakan hambatan dan rintangan di dalam melaksanakan “pembelajaran jarak jauh” ini. Hambatan ini tidak hanya datang dari sisi penulis saja, tetapi juga melibatkan siswa maupun orang tua. Mulai dari kesiapan perangkat elektronik yang mendukung, baik dari si pendidik maupun dari anak didik, seperti kapasitas laptop yang mendukung, kecepatan untuk mengakses internet, ataupun kendala-kendala lainnya lagi yang kalau disebutkan lumayan banyak. Belum lagi kalau berbicara tentang tanggung jawab dari anak didik itu sendiri, seperti keseriusan dan kejujuran siswa ketika belajar dari rumah masing-masing. Namun, semua itu harus dilalui demi membelajarkan peserta didik yang “dikurung” Covid-19. Bahkan, hati penulis cukup bergetar ketika pernah membaca sebuah media yang menuliskan tentang perjuangan dari seorang guru di daerah yang rela mengajar anak didiknya dari rumah ke rumah karena mereka tidak memiliki akses internet dan perangkat elektronik yang memadai. Dalam hati membatin, bersyukur masih ada orang-orang yang memiliki hati yang tulus untuk mendidik anak-anak, khususnya yang tidak mampu.
Persoalannya saat ini, banyak pihak yang mempertanyakan, baik dari kalangan pendidik itu sendiri, siswa-siswa, orang tua yang seolah-olah paling merasakan dampak pandemi ini, apalagi pihak-pihak yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan akan kondisi ini: apakah SFH ini tepat untuk diterapkan ataukah ini hanya akal-akalan pihak tertentu yang ingin meraup keuntungan akan situasi yang terjadi saat ini?
Satu pihak dengan tegas dan bersemangat menyatakan sekolah harus dibuka pada waktunya untuk menghindari ketertinggalan dalam mata pelajaran. Sementara itu, pihak lain ‒dengan alasan demi keselamatan murid‒ berpendapat bahwa pembukaan sekolah justru harus ditunda. Jika dicermati, kedua pemikiran yang bertolak belakang tersebut sama-sama berangkat dari cara pandang yang lama yang cenderung mereduksi makna pendidikan sebatas konteks administratif, yaitu penyelenggaraan sekolah reguler. Jika makna itu yang dijadikan argumen, maka tidak hadirnya siswa di gedung sekolah tentu saja akan menghentikan pembelajaran. Sebaliknya, kehadiran siswa di kompleks sekolah sama dengan memberikan peluang penularan virus corona kepada mereka. Jadilah seperti makan buah simalakama. Kita menjadi lupa bahwa inti dari pendidikan itu sebenarnya learning, not just schooling. Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki banyak format dan semua itu telah diselenggarakan di Indonesia. Hanya saja, banyak dari kita yang memandang hanya sekolah reguler yang sebenarnya pendidikan, sedang yang lain hanya seperti “penggembira” saja.
Meskipun memberikan dampak yang sangat buruk bagi ekonomi maupun kesehatan, pandemi Covid-19 ini banyak memberikan pelajaran bagi kita semua, khususnya di bidang pendidikan. Guru dan orang tua dituntut supaya membiasakan diri memanfaatkan teknologi untuk mencari informasi dan berkomunikasi. Dengan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, diharapkan pembelajaran akan lebih bisa diarahkan pada upaya perbaikan secara terus-menerus, efektif-efisien, benar, dan objektif. Dalam keadaan bagaimanapun, pendidikan harus tetap berlangsung karena tidak saja terkait dengan masa depan generasi penerus bangsa, melainkan juga umat manusia.
Sebagai penutup, pandemi Covid-19 ini telah membawa kita kepada arus perubahan yang menuntut revolusi mental semua manusia di muka bumi, khususnya bangsa Indonesia, lebih khusus lagi pemangku kepentingan pendidikan. Hanya, pertanyaannya: Siapkah? Ikhlaskah? Maukah? Mampukah kita merevolusi mental kita? Semua kita terlibat untuk dapat menjawabnya!
____________________
Ilustrasi artikel : parenting.orami, dfunstation, straitstimes
Ilustrasi cover : Feliphe Schiarolli-Brazil
Komentar