PERTOLONGAN DAN PENGHIBURAN KRISTUS MENURUT PSIKOLOGI TIMUR

PERTOLONGAN DAN PENGHIBURAN KRISTUS MENURUT PSIKOLOGI TIMUR

PERTOLONGAN DAN PENGHIBURAN KRISTUS MENURUT PSIKOLOGI TIMUR

Stefanus Soejanto Sandjaja*

 

Singkatan PPKM menjadi terkenal di era pandemi Covid-19. Kepanjangan dari PPKM adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Hal ini berarti aktivitas masyarakat sehari-hari dibatasi geraknya untuk menurunkan maupun mencegah penularan virus Covid-19. Diharapkan anggota masyarakat lebih banyak menggunakan waktunya di rumah untuk bekerja maupun belajar. 

Tampak jelas, untuk mematuhi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, diperlukan pengenalan diri dan manajemen diri yang kuat dalam diri setiap orang. Psikologi Timur menyediakan banyak konsep dan cara-cara untuk mengenal dan mengelola diri agar seseorang dapat mencapai kebahagiaan hidup. Jadi, arah Psikologi Timur lebih bersifat internal atau ke dalam diri individu. Inilah salah satu perbedaan Psikologi Barat dengan Psikologi Timur. Psikologi Barat cenderung berorientasi ke luar diri individu (eksternal) dan diterapkan untuk melayani dan membantu orang lain, seperti pelayanan tes psikologi, penempatan individu dalam posisi jabatan, pemetaan kebutuhan komunitas, dll. Maka, tak heran jika Psikologi Barat sering dijuluki Psikologi Untuk Anda. Dalam artikel ini akan digunakan dua aliran Psikologi Timur, yaitu Psikologi Jawa dan Psikologi Sufi; untuk memperkenalkan konsepnya wang karep atau mindfulness dan salik atau peziarah. Namun, sebelumnya akan dibahas terlebih dahulu mengenai rasa kecewa, stres, dan kesepian.

Rasa Kecewa, Stres, dan Kesepian

Dampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat alias PPKM beraneka ragam. Ada orang yang senang belajar maupun bekerja dari rumah. Di sisi lain, beberapa orang yang lain merasa sedih karena sulit bepergian untuk bertemu dengan sanak keluarga maupun sahabat akrab mereka. Satu dan dua minggu, bahkan satu bulan; beberapa orang masih dapat bertahan untuk tinggal di rumah dan tidak bepergian ke mana-mana. Namun, setelah enam minggu sampai dua bulan, mulai muncul rasa kecewa, stres, dan kesepian. Sebagian besar masyarakat merasa kecewa sebab keinginannya untuk bebas bepergian ke mana saja, tidak terpenuhi. 

gustinerz.com

Rasa kecewa menjadi makin tinggi karena muncul juga rasa bosan setiap hari harus di rumah. Terlalu lama di rumah dan terlalu banyak duduk atau rebahan, menimbulkan rasa pegal di pinggang, pundak, lutut, maupun kaki. Ditambah lagi terlalu mencemaskan masa depan sehingga muncul pikiran-pikiran negatif (over thinking). Baru saja masyarakat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita di televisi bahwa penderita Covid-19 sudah dapat dikendalikan, yaitu PPKM level 4 sudah berubah menjadi level 2 atau level 1, tetapi disertai dengan peringatan agar masyarakat tetap diminta waspada gelombang pandemi ketiga. Kesehatan pada masa depan menjadi tidak pasti dan membuat beberapa orang menjadi cemas. Rasa kecewa yang tinggi, merasa bosan, keluhan sakit fisik di beberapa bagian tubuh, merasa cemas akan masa depan, dan tercebur ke dalam pikiran-pikiran diri sendiri yang negatif, serta bingung harus melakukan tindakan apa di masa pandemi Covid-19. Kondisi inilah yang dinamakan oleh ahli psikologi sebagai distres, yaitu respons fisik atau jasmani, emosi, pikiran dan perilaku terhadap peristiwa atau kejadian yang dipandang sebagai ancaman atau tantangan.

Selain itu, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat beberapa orang merasa relasi sosial dengan orang lain menjadi berkurang, baik kualitas maupun kuantitasnya. Sebelum pandemi Covid-19, biasanya seseorang dapat bertemu dengan sanak keluarga paling sedikit satu minggu sekali atau para pekerja hampir setiap hari dapat bertemu dengan rekan kerjanya lima kali dalam seminggu. Namun, setelah PPKM, hampir enam bulan bahkan ada yang sudah 18 bulan tidak pernah bertemu dengan rekan kerja maupun sanak saudaranya. 

Secara kuantitas, orang-orang merasa relasi sosialnya berkurang. Kualitas relasi sosial juga menurun. Lama tidak bertemu. Ketika bertemu Kembali, beberapa orang menjadi agak asing dan seolah-olah harus memulai relasi sosial dengan orang baru. Canda gurau dan berbagi rasa menjadi bersifat kering dan berkurang.  Hal inilah yang dikenal sebagai kesepian, yaitu pengalaman distres ketika relasi sosial seseorang dengan orang lain dipandang sangat kurang dari yang diinginkan secara kuantitas maupun kualitas. Seseorang merasa hampa, sedih, sendirian, terisolasi, dan merasa tidak diinginkan. Kesepian merupakan keadaan mental, bukan fisik. Artinya, meskipun di rumah ada tujuh orang, seseorang dapat merasakan sendirian, merasa terisolasi, hampa dan sedih sebab ia merasa relasi sosialnya berkurang drastis. 

unsplash.com/nadineshaabana

 

Di tengah lilitan rasa kecewa, distres dan kesepian, apakah seseorang dapat merasakan dan mengalami janji Tuhan seperti yang tertulis pada kitab Yesaya 41: 10, Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”

Mengelola Kekecewaan, Kecemasan, dan Kesepian

Istilah takut dan cemas ada sedikit perbedaan. Objek rasa takut biasanya jelas, sedangkan cemas objeknya tidak jelas. Takut kucing, anjing, ular adalah contoh penggunaan istilah takut. Untuk masa depan yang tidak jelas biasanya digunakan istilah cemas. Bagaimana mengelola rasa cemas pada masa pandemi Covid-19? Psikologi Barat menawarkan konsep mindfulness, yaitu mengamati pikiran dan emosi diri sendiri tanpa melakukan penilaian atau melakukan tindakan reaktif sampai pikiran dan emosi negatif tersebut hilang atau menjadi rendah. Konsep mindfulness dari Psikologi Barat sebenarnya sudah dikenalkan juga oleh ahli filsafat Psikologi Jawa dari kelompok Psikologi Timur, yaitu Ki Ageng Suryomentaram dengan istilah nyawang karep, yaitu aktivitas untuk melihat keinginan (karep) dalam diri sendiri tanpa melakukan penilaian maupun tindakan reaktif sehingga keinginan ini menjadi hilang atau menurun intensitasnya. 

 

cnnindonesia.com

Agar dapat melakukan mindfulness atau nyawang karep, seseorang perlu latihan konsentrasi, relaksasi, dan atur napas sehingga menjadi tenang dan rileks. Hal ini selaras dengan I Petrus 4: 7 yang berbunyi demikian, “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu, kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.” Dalam kondisi tenang dan rileks, konsentrasi menjadi meningkat dan seseorang dapat melihat emosi diri sendiri dengan lebih jelas. Tindakan reaktif, yaitu tindakan spontan dengan muatan emosi negatif saat menerima stimulus atau rangsangan menjadi menurun. Penurunan perilaku reaktif dalam diri seseorang juga cenderung menurunkan rasa menjadi korban, keinginan menyalahkan orang lain dan keadaan, serta rasa tidak mampu bertanggung jawab atas kesepian diri. 

Dampak selanjutnya adalah terjadi penurunan rasa kecewa maupun cemas dan sebaliknya muncul sudut pandang baru, yaitu individu menyadari bahwa pandemi Covid-19 membuat situasi dan kondisi tidak dapat kembali lagi seperti dahulu. Dia sadar bahwa ia harus melaluinya dan belajar atas musibah yang menimpa seluruh dunia serta tetap harus melanjutkan hidupnya dengan baik. Hal ini berarti seseorang sudah dapat menerima keberadaan dirinya harus berada di rumah dalam masa pandemi Covid-19. Muncul kesadaran baru yang lebih jernih bahwa seseorang harus melalui masa pandemi dengan penyertaan oleh Sang Maha Pencipta dan keyakinan teguh bahwa Tuhan memimpin dalam mempelajari hal-hal baru untuk menghadapi pandemi Covid-19.

Melihat Allah sebagai Penolong & Penghibur 

Selain itu, kesadaran baru bahwa seseorang tetap harus melanjutkan hidupnya, menumbuhkan kebutuhan akan hadirnya seorang penolong yang selalu hadir setiap saat dalam hidupnya. Mengapa beberapa orang tidak dapat melihat kehadiran Allah sebagai penolong setia dalam setiap napas hidupnya? Injil Matius 5: 8 dengan jelas mengatakan bahwa berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berarti, untuk melihat pertolongan Allah, diperlukan hati yang suci bersih. 

Persoalan mengenai membersihkan hati agar suci sehingga dapat memancarkan sinar cinta kasih Allah banyak dikupas tuntas dalam salah satu aliran Psikologi Timur, yaitu Psikologi Sufi. Dalam masa pandemi Covid-19 ini, beberapa orang merasa kecewa atau frustrasi tidak dapat berpergian dengan bebas dan merasa terpaksa harus tinggal di rumah. 

Tidak sedikit dari mereka yang merasa frustrasi lalu melampiaskan rasa frustrasinya kepada orang lain dalam bentuk kata-kata kasar, menghina, mengkritik tajam, marah, dan mengucapkan ujaran kebencian yang lain. Kata-kata kasar, penghinaan dan ujaran kebencian disertai ledakan emosi marah yang kuat melukai hati orang lain. Anak-anak menjadi terluka hatinya. Suami dan istri juga saling melukai. Hal ini biasanya ditekan atau direpresi ke dalam alam tidak sadar sehingga bertumpuk-tumpuk bagaikan sampah busuk di gudang memori. Inilah hati kotor yang menjadi penghalang bagi seseorang untuk dapat melihat kehadiran Allah.  

Oleh sebab itu, pada masa pandemi Covid-19 ini, seseorang perlu menjadi salik, yaitu seorang peziarah yang sedang mencari cinta Ilahi dengan cara (kendaraan) membersihkan atau memurnikan hatinya agar dapat memancarkan terang Allah. Salik membutuhkan psikolog atau konselor spiritual untuk mengajarkan dan membimbing latihan-latihan spiritual agar dapat mencapai kebersihan hati. Pada gilirannya, hati yang bersih dapat memancarkan sinar Ilahi sehingga seseorang dapat saling menolong, mendampingi dan menghiburkan satu dengan yang lain pada masa pandemi Covid-19.

catholicreview.org

*Dr. Stefanus Soejanto Sandjaja, M. Si.,

Konselor. Dekan Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial & Humaniora UKRIDA.

Berita Terkait
Komentar
Tinggalkan Komentar