MUKJIZAT ITU NYATA - JONAS CHENDANA

MUKJIZAT ITU NYATA - JONAS CHENDANA

Inilah pengalaman hidupku ketika dinyatakan positif terkena Covid-19.

Pada 09 Maret 2020 yang lalu, saya memutuskan untuk dirawat di Ciputra Hospital, setelah saya mengalami batuk sejak 01 Maret 2020 yang tidak juga membaik walaupun sudah pergi ke dokter sebanyak dua kali. Keputusan tersebut saya lakukan mengingat situasi awal pandemi Covid-19 yang mulai masuk ke Indonesia, walaupun awalnya saya berpikir itu hanya flu biasa yang disertai batuk dan demam. Namun, mengetahui bahwa virus ini menular dengan sangat cepat, akhirnya setelah saya masuk IGD, dan ditanya oleh dokter jaga, apakah saya berobat jalan saja, serta-merta saya menjawab kalau saya mau dirawat inap saja. Menurut saya, keputusan yang saya buat adalah untuk menghindarkan istri dan anak saya dari penularan penyakit tersebut jika ternyata saya dicek lab dan hasilnya positif Covid-19.

Saya pertama kali masuk ke ruang rawat inap biasa, yang terdiri dari satu kamar berisi tiga tempat tidur. Saya berada di posisi tengah, di sebelah kanan saya ada penderita DB, sedangkan di sebelah kiri ada pasien operasi setelah kecelakaan. Selama di ruang rawat inap, dokter internis menanyakan mengapa dokter yang dari RS Siloam Kebun Jeruk meminta untuk CT Scan paru-paru padahal hanya gejala flu biasa sajaSebelumnya, pada 07 Maret, saya berobat ke RS Siloam Kebun Jeruk karena batuk yang tidak kunjung sembuh setelah dua kali ke dokter di klinik. Pada waktu di RS Siloam diperiksa, suhu tubuh saya tinggi sehingga disarankan untuk CT Scan. Dari hasil CT Scan yang dibaca oleh dokter IGD saat itu dokter yanmemeriksa saya sudah pulangada spot kabut yang mengarah ke Covid-19. Jadi, saya diminta untuk ke rumah sakit rujukan, RS Persahabatan. Namun, karena saat itu saya diminta untuk periksbeberapa hal, akhirnya saya dan istri memutuskan untuk pulang dan akan ke RS Persahabatan sendiri. Saya tebus obat yang diberikan dokter dan akhirnya kami pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, saya bicara dengan istri bahwa sepertinya dokter telah salah mendiagnosisDi sisi lain, saya juga ada rasa khawatir, jika benar tentu akan menular kepada anggota keluarga. Setelah memakan obat yang diberikan oleh dokter RS Siloam, malamnya saya tidak batuk lagi dan bisa tidur dengan nyenyak. Akan tetapi, saya masih tetap merasa khawatir dengan diagnosis dokter IGD tersebut. Keesokan harinya09 Maret pagi, saya memberitahukan istri saya bahwa saya ingin pergi ke RS Sulianti Saroso. Namun, istri saya tidak sependapat sehingga akhirnya kami pergi menuju ke RS Ciputra Hospital.

Setelah sampai di RS Ciputra Hospitaldokter internis rumah sakit itu meminta izin kepada istri saya agar sayadidampingi oleh dokter paru-paru. Pada awalnya, dokter paru-paru belum berkesimpulan bahwa saya terkena Covid-19. Dia berkesimpulan kemungkinan TB karena Laju Endap Darah (LED) saya tinggi. Namun, setelah hasilnya keluar, tidak ditemukan kalau saya mengidap TB. Kemudian, dokter menanyakan apakah saya pernah ke luar negeri dalam waktu yang dekat ini. Memang, pada Januari 2020, saya bertemu dengan anak saya di Jerman, tetapi menurut dokter itu sudah lama. Lalu saya ingat-ingat kembali bahwa saya pernah bertemu dengan sahabat saya dari Australia menjelang akhir FebruariBerdasarkan keterangan tersebut, dokter mengatakan bahwa saya akan dipindahkan ke ruang lain, yang pada akhirnya baru saya ketahui bahwa ruang tersebut adalah RUANG ISOLASI.

Setelah berada di ruang isolasi, di sanalah mental dan iman saya terguncang dan mulai berpikir mengenai hal-hal terburuk akibat terinfeksi Covid-19 ini. Saya diberitahu bahwa dua hari kemudian akan dilakukan Swab untuk mengecek apakah saya benar-benar terinfeksi virus ini. Saat itu, saya benar-benar berserah kepada Tuhan Yesus. Iman saya semakin terguncang ketika para petugas yang melakukan tes Swab datang dengan kondisi kamar isolasi ditutup rapat-rapat dan seluruh suster yang sebelumnya masih memakai baju biasa, hari itu juga menggunakan APD lengkap, seperti astronot di ruang angkasa, seperti yang saya lihat pada petugas kesehatan di Wuhan, China. Setelah melakukan tes, pintu kamar saya yantiga lapis itu tertutup rapat dan suster yang merawat saya pun sudah menggunakan baju APD lengkap. Pada saat itulah saya benar-benar galau sekali dan saya menjerit kepada Tuhan, “Kenapa ini harus terjadi kepada saya? WHY?

Puji Tuhan, Dia tidak membiarkan saya sendirian. Tuhan mengirimkan dua orang perawat yang sungguh luar biasa dalam diri suster Suliyanti dan Mas Ujo (perawat laki laki). Di tengah kegalauan itu, suster Suliyanti yang mendampingi saya mengatakan kalau saya tidak boleh stres. Lalu, saya timpali bagaimana bisa tidak stres ketika di kamar tidak ada siapa punistri dan anak saya sudah tidak diizinkan untuk menjenguk dengan kondisi pintu berlapis tiga. Suster kembali menimpali dan mengatakan bahwa ada bel yang bisa ditekan untuk memanggil suster. Suster Suliyanti bercerita kalau penyakit Covid-19 ini 90 % dapat disembuhkan. Hal terpenting lainnya adalah si pasien harus makan dan tidak boleh sedih atau stres karena nanti imun tubuhnya bisa menurun sehingga virus ini bisa menyerang kondisi tubuh yang lemah. Saya katakan lagi, “Bagaimana saya bisa berselera untuk makan dan dapat tidur nyenyak kalau di ruang isolasi seperti ini?” Lalu, suster tersebut memberikan perumpamaan seperti ini: Mana yang Bapaakan pilih, terkena Covid atau terjangkit penyakit kanker stadium 4?” Lalu, saya menjawabnya dan mengatakan tidak ingin keduanya. Namun, dia bertanya kembali, “Jika Bapak harus memilih?” Saya pun menjawab lebih baik kena Covid karena tingkat kesembuhannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan kanker stadium 4. Mendengar hal itu, saya mulai tenang dan berdoa kepada Tuhan, “Terima kasih karena Engkau telah mengirimkan seseorang yang membuka mata dan pikiran saya bahwa Covid-19 bukanlah akhir dari segalanya. Sejak saat itu, saya menjadi lebih tenang dan selalu bernyanyi memuji Tuhan sambil menunggu hasil tes Swab dan berharap semoga hasilnya negatif.

Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Empat hari kemudian, hasil tes Swab saya dinyatakan POSITIF. Mendengar hasil tersebut, saya kembali ke level awal stres. Pikiran saya pun mulai nenerawang tentang hal yang bukan-bukan. Lalu, saya pun menginformasikan kepada istri saya agar tenang, padahal saya sendiri sangat gelisah. Syukurnya, saya selalu dihibur oleh suster Suliyanati dan mas Ujo. Mereka mengatakan bahwa positif itu bukan berarti positif seterusnya. Itu bisa berubah negatif pada saat tes berikutnya. Yang terpenting adalah bahwa saya tidak boleh larut dalam stres dan sedih berkepanjangan dan saya harus makan yang banyak, khususnya meminum vitamin, agar dapat menaikkan imun tubuh saya.

Saya pun kembali berdoa dan berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengirimkan malaikat-malaikat-Nya untuk menjagai saya selama di ruang isolasi itu. Justru, saat di ruang isolasi itulah saya benar-benar merasakan kehadiran Tuhan Yesus yang menjaga dan menghalau seluruh halusinasi saya. Saya sangat merasakan jamahan tangan Tuhan. Bahkan, saya menganggap bahwa selama tiga minggu di ruang isolasi itu saya sedang ‘RETREAT’ dengan Tuhan Yesus karena setiap hari saya banyak membaca renungan dan Alkitab yang menguatkan saya selama di ruang isolasi tersebut.

Mukjizat pun terjadi. Saya diizinkan untuk pulang pada 30 Maret 2020. Segala puji dan syukur hanya untuk Tuhan Yesus. Lebih bersukacita lagi ketika hasil tes SWAB yang ke-2 dan ke-dinyatakan negatif juga. Sungguh Tuhan Yesus adalah tabib yang ajaib. Asal kita percaya, mukjizat-Nya sungguh nyata. Amin. 

 

Jonas Chendana

Berita Terkait