MERDEKA DI TENGAH PANDEMI COVID-19!

MERDEKA DI TENGAH PANDEMI COVID-19!

Pandemi Covid-19 menolong kita menghargai kemerdekaan dengan lebih baik lagi. Maksudnya begini. Selama ini, kita cenderung mengandaikan kemerdekaan sebagai sesuatu yang sepantasnya kita terima. Kita merasa tidak lagi dijajah. Kita merasa bebas: bekerja, bergereja, bermasyarakat. Kita lupa kalau kemerdekaan itu baik dalam pengertian bebas dari dosa atau penjajah adalah anugerah Tuhan sekaligus hasil perjuangan para pendahulu kita. Karena mengandaikan kemerdekaan sebagai hal yang memang sudah seharusnya diterima, lalu kita tidak bisa bersyukur atas kemerdekaan. Sikap itu pada gilirannya membuat kita gagal mengisi kemerdekaan dengan sesuatu yang bermakna. 

Pandemi Covid-19 ini memaksa kita berada dalam situasi tidak merdeka. Lima bulan ini kita bekerja dan bergereja dari rumah. Anak-anak atau cucu kita sekolah dari rumah. Kita dibatasi oleh PSBB. Interaksi kita terbatas. Kita tidak bebas. Bagaimana kita bisa tetap merdeka dalam situasi seperti itu? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, kita akan memaknai kemerdekaan secara teologis. Kedua, kita akan mendiskusikan bagaimana mengisi kemerdekaan dalam situasi sulit seperti sekarang.

 

Apa itu merdeka?

“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Galatia 5:13). Rasul Paulus mengingatkan status pengikut Kristus sebagai orang yang telah merdeka. Kita mengerti apa yang Rasul Paulus maksudkan. Wafat dan kebangkitan Kristus menolong orang percaya bebas dari kuasa dosa sehingga sanggup untuk hidup memuliakan Allah. Sayangnya, jemaat di Galatia tidak begitu. Mereka berdebat tentang ritual-ritual agama, lalu melupakan kasih kepada sesama. Padahal, yang terakhir adalah hal yang penting dan utama.

Dalam hidup bergereja, tidak sedikit umat Allah yang berfokus untuk melayani gereja secara ritual dan institusi, lupa pada panggilan etis gereja. Gereja sibuk menyiapkan ritual, rapat, dan menghabiskan energi untuk melayani institusi, tetapi lupa mengasihi. Dalam hidup bermasyarakat juga begitu. Umat Allah banyak yang tidak memakai kemerdekaan untuk mengasihi satu sama lain sebagai bagian dari bangsa. Di antara mereka hanya hidup memperhatikan kepentingan sendiri. Hal yang sama terjadi dalam sikap kepada alam. Umat Allah memakai kemerdekaannya bukan untuk mengasihi alam, melainkan mengeksploitasinya demi kepentingan pribadi. 

Pandemi Covid-19 memaksa kita merenungkan arti kemerdekaan kita sebagai bagian dari gereja, bangsa, dan alam semesta. Tiba-tiba kita merasa tidak merdeka. Kemerdekaan yang kita andaikan sudah kita miliki, kini tidak ada lagi. Kita tidak bebas untuk bekerja, berbisnis, bersekolah, dan berelasi secara fisik. Kita tidak bisa beribadah seperti biasa. Keadaan ini bisa membuat kita tertekan. Tidak sedikit umat Tuhan yang kesehatan mentalnya terganggu. Namun, keadaan ini bisa kita maknai secara berbeda. Tuhan mengingatkan kita untuk tidak begitu saja menganggap kemerdekaan sebagai hak, melainkan melihat itu sebagai anugerah. Dengan memaknai kemerdekaan seperti itu, kita akan bertanggung jawab: hidup dalam kasih. 

 Mengasihi: tetap merdeka dalam situasi yang membatasi

Apakah Saudara ingat ayat ini: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih” (I Yoh 4: 18)? Sehubungan dengan tema tulisan ini, saya menafsirkan ayat tersebut begini: Kasih Allah yang telah memerdekan kita, memampukan kita untuk tetap merdeka dan mengasihi dalam situasi seperti ini. Di tengah pandemi ini, kita tidak takut sehingga kita tidak berbuat apa-apa. Sebaliknya, kita bisa tetap mengasihi. Ini yang penulis coba tunjukkan lewat sharing pengalaman di bawah ini.

Penulis diberi kepercayaan untuk menjadi ketua panitia Festival Merah Putih (FMP) 2020 di kota Bogor. FMP adalah event tahunan kota Bogor dan telah menjadi salah satu ikon kota Bogor. Event ini berlangsung selama bulan Agustus dengan rangkaian kegiatan yang fokusnya adalah membangun nasionalisme.

radarbogor.com - Festival Merah Putih 

Bisakah dibayangkan perasaan penulis ketika dipercaya sebagai ketua FMP? Identitas penulis sebagai seorang keturunan Tionghoa sekaligus sebagai seorang pendeta membuat penulis tidak percaya diri. Apa lagi saat ini sedang pandemi. Alokasi anggaran dari Pemkot untuk FMP sebesar 1 Milyar, dipotong untuk keperluan Covid-19 sehingga tersisa 30 juta. Kegiatan apa yang mau dilakukan dalam pandemi seperti ini dengan dana yang terbatas? Bagaimana mencari dana di tengah kelesuan ekonomi? Bagaimana rapat koordinasi? Bagaimana penulis yang cenderung minder harus bertemu dengan para pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk meminta dukungan agar FMP perlu tetap dilakukan? Dalam situasi tidak percaya diri dan kesulitan-kesulitan tersebut, saya punya alasan untuk menolak!

1 Yoh 4: 8 menolong penulis untuk menerima kepercayaan itu. Kalau saya benar-benar telah menerima kasih Kristus, mestinya penulis tidak takut. Dan benar, Tuhan menolong dan membukakan jalan ketika penulis meyakininya. Panitia Festival Merah Putih berupaya kreatif mewujudkan itu. Hasilnya, ada sekitar 12 kegiatan FMP, yang dilakukan sebagian besar dilakukan secara virtual. Ada dua kegiatan yang dilakukan secara on-site, yaitu edukasi kesehatan dan pembagian sembako untuk masyarakat yang membutuhkan serta teladan award (apresiasi kepada masyarakat-masyarakat yang dianggap berjasa di tengah pandemi Covid-19). Sepanjang perjalanan panitia, penulis mengalami tantangan untuk membangun nasionalisme di tengah-tengah situasi sulit karena pandemic; dan satu-satu bisa teratasi. 

Bahkan, ada hal-hal ajaib yang terjadi. Di luar dugaan panitia, salah satu kegiatan FMP, yaitu paduan suara virtual FMP, mendapat respons secara nasional. Paduan suara ini bukan hanya berhasil menghimpun ribuan masyarakat untuk berpartisipasi, melainkan juga melibatkan tokoh-tokoh nasional. Mendagri, Panglima TNI, Kapolri, dan beberapa kepala daerah, ikut bernanyi dalam paduan suara tersebut. Bukan itu saja. Salah satu lagu dalam paduan suara virtual FMP ditayangkan dalam upacara 17 Agustus di Istana Negara. Ini sangat istimewa. 

bogor-kita.com - Festival Merah Putih

Penulis menceritakan hal di atas bukan untuk menyombongkan diri. Penulis hanya ingin mengamini kebenaran firman Tuhan dalam Gal 5: 13 dan I Yoh 4:18. Jika kita menerima kasih Allah yang telah memerdekakan kita, kita akan merdeka dari rasa takut ketika mengasihi. Ketika itu kita hidupi, maka kasih dan kuasa-Nya yang ajaib itu akan menolong kita untuk bisa mengasihi dalam keadaan apa pun, termasuk dalam pandemi Covid-19 ini.

Penutup

Penulis meyakini, prinsip yang sama berlaku untuk semua umat Allah. Pandemi Covid-19 belum akan berakhir dalam waktu dekat. Kita juga tidak tahu, sampai kapan vaksinnya akan ditemukan. Apakah situasi ke depan akan semakin baik atau buruk, belum ada yang bisa mengetahuinya dengan pasti. Namun, dalam situasi seperti itu, kita percaya bahwa kasih dan kuasa Allah telah dan akan terus memerdekakan sehingga kita terbebas dari rasa takut dan tidak berdaya. 

Kasih-Nya itu yang menolong kita untuk tetap merdeka mengasihi dalam situasi yang sulit sekalipun, baik dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bergereja, maupun berbangsa. Sebagai pribadi, Tuhan memampukan kita mengasihi anggota keluarga. Justru di tengah pandemi ini, kita punya banyak kesempatan untuk mengasihi anggota keluarga. Sebagai gereja, Tuhan akan memampukan GKI untuk secara kreatif melakukan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. Justru dalam kesempatan seperti ini, GKI bisa berfokus pada apa-apa yang esensial atau menjadi inti dari tugas gereja. Begitu juga sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tuhan akan memampukan Saudara dan saya untuk tetap mencintai bangsa ini di tengah pandemi Covid-19. Tuhan memberkati.

Pdt. Darwin

Berita Terkait