KASIH YANG MENDIDIK

KASIH YANG MENDIDIK

KASIH YANG MENDIDIK

Pdt. Mulyadi

 

Suatu kali, seorang anak berusia 5 tahun merengek kepada orang tuanya dan memaksa agar dia dibelikan coklat. Orang tua anak itu sudah mengetahui bahwa anaknya mengalami obesitas (kegemukan) dan kerusakan gigi yang cukup parah. Dokter pun sudah mengingatkan mereka agar makanan anaknya dikendalikan dan mengurangi secara drastis makanan yang mengandung gula, termasuk coklat. Namun, setiap kali berjalan-jalan ke mal atau pasar swalayan, anak ini selalu melihat apa yang diinginkannya. Tidak jarang ia menangis meraung-raung di tempat umum sampai berguling-guling, bahkan hingga merusak beberapa barang di tempat tersebut. Merasa malu dan sulit mengendalikan, orang tua tersebut terpaksa memberikan coklat yang diminta. Akhirnya, anak itu harus mengalami persoalan kesehatan kembali.

img by : Ricardo

Kisah di atas menunjukkan relasi antara persoalan pendidikan dan cinta yang harus dikelola sejak awal di rumah. Robert R. Boehlke mencatat bahwa gaya pendidikan Yahudi salah satunya adalah keterlibatan orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak-anak. Boehlke mengategorikan orang tua sebagai pendidik golongan kelima (empat golongan lainnya adalah kaum imam, nabi, kaum bijaksana, dan penyair). Para orang tua berkewajiban memperkenalkan Taurat yang berisi berbagai ajaran. Selain ajaran tentang ibadah dan perjalanan bersama Allah dalam pergulatan bangsa Israel sebagaimana dicatat dalam Ulangan 6: 4-9, mereka juga harus memperkenalkan tentang etika dan tata kehidupan. Pola pendidikan Yahudi pada Perjanjian Lama memang sering menggunakan bentuk yang keras. Amsal 13: 24 menggunakan istilah “tongkat” sebagai pendidik. Tentu saja ini digunakan karena pengalaman umat Perjanjian Lama yang hidup dalam suasana gembala dan padang gurun membuat mereka akrab dengan kondisi tersebut. Domba yang tidak bisa diatur akan dipukul dengan tongkat agar kembali ke kawanannya.

img by : drew hays

Secara apik, melalui judul “Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen”, Robert Boehlke menekankan bahwa pendidikan anak harus dilakukan dengan cara yang sangat baik, melalui teladan, dan komunikasi berkualitas. Hal ini ditekankan dalam terjemahan dan pokok bahasan melalui Ulangan 6: 4-9 itu. Para orang tua memiliki panggilan dan tanggung jawab untuk menyampaikan pendidikan kepada anak-anak. Di sisi lain, anak-anak memiliki kewajiban untuk taat kepada orang tuanya.

 

Lalu, bagaimana menyikapi kisah di atas sehingga bisa terjadi contoh anak yang melakukan tindakan demikian? Tampaknya beberapa hal perlu kita simak bersama. 

Pertama, tidak jarang orang tua memilih model pendidikan kepada anak-anak “yang penting tenang dan tidak mengganggu” sehingga apa saja permintaan anak-anak dipenuhi, yang penting bisa tenang. Pola ini memberi dampak pada kualitas pendidikan, yakni lemahnya nilai dan aturan yang berlaku di rumah. Sejak dini, anak-anak perlu memiliki pemahaman bersama tentang nilai-nilai yang harus dianutnya, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, termasuk etika di meja makan yang sampai saat ini nyaris hilang dalam perjalanan keluarga. Tidak jarang anak-anak dan orang tua sibuk dengan gawai (gadget), padahal komunitas meja makan adalah penghormatan dan syukur kepada Allah atas berkat yang dicurahkan, sekaligus ruang komunikasi yang baik. 

Kedua, tidak jarang juga orang tua “dikelabui” anak-anak dengan perilaku baik di depan orang tua, sementara mereka melakukan hal sebaliknya di belakang orang tua. Ini sering dilandasi dengan sikap orang tua yang otoriter. Pada tipe pengasuhan demikian, anak-anak memiliki keinginan untuk melakukan perlawanan, keluar dari cengkeraman otoritas orang tua yang tidak memberi ruang besar bagi mereka untuk melakukan aktivitas yang sesuai dengan perkembangan usia dan ruang gerak mereka sebagai anak-anak kelompok milenial. Kondisi ini sangat menyeramkan karena anak-anak hidup dalam kepalsuan dan orang tua melihat semua baik.  

Ketiga, orang tua dan anak melakukan komunikasi empatik, saling menyayangi (baca: menghormati), dan memberi ruang besar pada tata nilai bersama. Ini dilakukan dalam percakapan penuh kasih dalam keluarga. Orang tua dan anak melakukan komunikasi sejak anak-anak masih bayi, menghormati keberadaannya (tubuhnya), termasuk tidak membiarkan gambar anak-anak diabadikan dalam keadaan telanjang, lalu diekspos ke media sosial atas nama kebanggan orang tua. Apakah menampilkan gambar anak-anak tidak boleh? Tentu saja boleh, tetapi harus dipahami dan dibayangkan bahwa anak-anak yang tidak memiliki kekuasaan atas tubuhnya, secara tiba-tiba diekspos dan anak-anak tidak punya kemampuan untuk menolaknya. Pada situasi ini, anak-anak dieksploitasi dan kehilangan ruang hidupnya untuk menikmati hal-hal privat dalam dirinya.

Mengapa hak privat anak-anak harus dihormati? Tentu saja ada landasan atasnya. Undang Undang No. 39 tahun 1999 pada butir khusus memberikan penegasan atas hak asasi anak-anak yang menegaskan, yaitu:

(1)  Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. ... 

(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.

Tentu pembaca bertanya, apa kaitannya dengan kisah anak-anak yang memaksa minta coklat di atas? Ya, ada hal mendasar yang harus disimak di sini. Anak-anak perlu mendapat perlakuan baik, mulai dari kualitas pendidikan rumah hingga keteladanan orang tua dengan memperhatikan hak-hak mereka. Anak-anak berhak atas kebahagiaan, memiliki kehidupan yang baik, dan tentu saja, mematuhi juga aturan yang diterapkan bersama. Anak-anak yang hidup dalam komunikasi empatik dan sikap saling memahami, berpotensi memiliki hidup dalam kebersaman yang kuat. Bahkan, anak-anak selalu rindu kebersamaan dengan keluarga, termasuk menyepakati aturan bersama yang dilakukan oleh orang tua dan anak. 

Kasih yang mendidik adalah kasih yang memberi ruang yang besar bagi semua untuk menikmati indahnya kasih Allah dalam keluarga sehingga semua menikmati kebahagiaan dalam melakukan sesuatu atau pun menerima untuk tidak melakukan sesuatu dengan gembira karena sikap hormat dan sukacita dalam melakukannya.

img by : cdc 

 

 

Soli Deo Gloria.

Berita Terkait