Jalan Salib dan Kebangkitan, Jalan Keagungan Cinta Tuhan
Renungan Paskah 2023
Jatuh cinta kata orang “berjuta rasanya, biar siang biar malam terbayang wajahnya”. Kata Titiek Puspa, “Jatuh cinta berjuta indahnya, biar hitam biar putih manislah nampaknya.” Apa benar bila kita mencintai, entah seseorang atau sesuatu, kita menjadi tergila-gila atau setengah gila sehingga menjadi agak kurang waras?
Andar Ismail dalam buku Selamat Bercinta (ingat “bercinta” itu bukan berarti berhubungan seks, tapi punya arti menaruh cinta, sayang, kasih, peduli dan rindu”) dengan mengutip seorang neurolog, Donatella Marazatti, mengatakan ada kemiripan antara orang yang sedang jatuh cinta dengan orang yang mengalami gangguan neurotik atau syaraf. Menurut penelitiannya, orang yang sedang jatuh cinta dan yang sedang mengalami gangguan neurotik sama-sama mengalami penurunan 40% kadar serotonin (zat yang bertanggung jawab agar kita berpikir logis). Itulah sebabnya orang yang jatuh cinta, sama seperti yang mengalami gangguan syaraf kadang melakukan hal-hal yang tak logis, tak rasional, tak masuk akal.
Allah begitu mencintai manusia, apakah cinta Allah itu membuat Allah tergila-gila sehingga melakukan yang tak rasional dan cenderung tak waras? Masakan Ia merelakan anak-Nya yang tunggal untuk mati di kayu salib demi cinta-Nya kepada kita manusia? Menurut ukuran duniawi, apa yang dilakukan itu tak wajar dan tak rasional. Apakah cinta Tuhan Yesus itu cinta yang setengah gila? Masakan Ia rela melewati jalan salib yang menurut ukuran duniawi adalah jalan yang memalukan dan menyakitkan, penuh penderitaan dan aib.
Ini bukan cinta yang tergila-gila atau setengah gila, melainkan karena Allah sungguh-sungguh menunjukkan keagungan cinta-Nya untuk kebaikan manusia. Berjumpa dengan keagungan cinta Tuhan yang luar biasa itu, apa respons kita?
Pagi hari ketika para murid yang dikabari para perempuan tentang kubur Yesus yang kosong dan tentang kabar kebangkitan-Nya, tidak ada satu pun yang percaya! Bahkan, dituliskan dalam kesaksian Injil Lukas, kata-kata perempuan itu dianggap sebagai omong kosong (B. Yunani, leros yang punya arti harfiah: mengigau, menceracau, bicara tanpa sadar, gila dan tak waras). Jadi, dalam pikiran para murid, perempuan-perempuan itu sedang mimpi, gila, sama sekali omong kosong karena cinta buta yang membuat mereka tergila-gila pada Tuhan Yesus sehingga mereka dianggap berhalusinasi melihat kubur Yesus kosong.
Bagaimana dengan Petrus, murid yang paling sering bersama Yesus? Saat ia menjenguk ke dalam kubur yang kosong, ia hanya bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang kira-kira telah terjadi. Lalu, ia pergi dari kubur itu.
Kisah berlanjut dengan kisah perjalanan ke Emaus oleh Kleopas dan temannya. Bedanya dengan kisah-kisah dalam bacaan Alkitab di perayaan Paskah Pagi adalah: dalam kisah Emaus, bukan murid-murid yang mencari Yesus, tetapi kini Yesus yang menemui murid-murid dan menyertai perjalanan mereka.
Sebuah pemaknaan baru dalam relasi Tuhan dan manusia tampak dalam peristiwa Emaus. Dulu manusia berusaha mencari dan menemukan Tuhan, tetapi sejak peristiwa salib, Tuhan menegaskan bahwa Ialah yang mencari dan mendapati manusia yang dicintai-Nya. Mari renungkan beberapa hal yang bisa kita lihat dari peristiwa Emaus.
Pertama, Tuhan datang dan menyertai perjalanan ziarah kehidupan umat-Nya. Aspek yang menarik dari cerita yang anggun itu menurut Anwar Tjen dalam tulisan renungan Paskah berjudul “Bertemu Dia yang Bangkit di Meja Emaus” di Kompas beberapa tahun lalu adalah kesehariannya. Percakapan dan perjumpaan dengan Kristus yang bangkit itu terjadi dalam perjalanan hidup sehari-hari. Dia yang bangkit hadir bersama peziarah-peziarah kehidupan yang kerap diberati dengan kabar-kabar terburuk dari dunia yang dikepung kematian dan persoalan pergumulan hidup. Kalau sekarang di masa pandemi ini, gelapnya hidup itu makin pekat karena ketidakpastian akan masa depan.
Tuhan yang bangkit itu sabar sekali menemani perjalanan ziarah Kleopas dan temannya. Ia sabar menjelaskan tentang karya Mesias. Ia juga sabar selama perjalanan menanti kesadaran penuh akan pengenalan murid-murid tentang siapa diri-Nya. Kesabaran itu terjadi karena kasih-Nya yang besar. Kasih yang besar itu tidak hanya membuat Ia sabar menjalani jalan penderitaan, didera, dan dihina, serta disakiti di kayu salib, tetapi juga membuat-Nya sabar menemani perjalanan hidup umat-Nya.
Di sisi lain, kerap kali kita tak sabar dalam menjalani proses perziarahan hidup yang kadang melewati lembah yang kelam, jalan yang berliku, dan berkerikil tajam. Perjalanan hidup kita sebagai anak-anak Tuhan, tidak luput dari berbagai persoalan: mengalami kehilangan (rumah, mobil, tabungan, pekerjaan, usaha, bahkan kehilangan orang-orang yang dicintai), sakit yang parah dan perlu biaya besar untuk mengobatinya, runyamnya hidup rumah tangga karena konflik suami-istri yang tak saling memahami. Itulah sebagian perjalanan ziarah kita. Persis seperti perjalanan ke Emaus, menuju matahari terbenam, membuat kita juga seperti berjalan menuju lembayung senja dan memasuki kegelapan malam. Sama seperti Kleopas dan temannya yang gundah dan kehilangan harapan, kita juga tidak jarang merasakan hal yang sama. Namun,Tuhan yang bangkit, karena kasih-Nya yang besar mencari dan menyertai perjalanan itu, tak membiarkan kita berjalan sendirian tanpa harapan. Ia mengingatkan, menuntun, dan mengarahkan supaya kita ingat siapa Dia dan apa karya-Nya.
Kedua, pemeliharaan dan kasih Tuhan tampak dalam “meja kebersamaan”. Perjalanan hari Minggu itu hampir berakhir saat mereka tiba di Emaus, di rumah Kleopas. Namun, relasi itu tak berhenti karena kini Kleopas meminta Tuhan, Sang Orang Asing itu untuk tinggal bersama dan makan bersama mereka. Anwar Tjen melanjutkan permenungannya dengan mengatakan: “Ajakan untuk tinggal bersama adalah sinyal kesanggrahan (hospitality) yang membuka pintu bagi kehadiran Tuhan Sang Orang Asing itu.”
Malam itu, ketika Sang Orang Asing itu makan bersama Kleopas dan temannya, kala Ia duduk bersama di meja makan sang tuan rumah, kala Ia memecah-mecah roti dan membaginya kepada sang tuan rumah, saat itulah mereka sadar siapa sebenarnya rekan seperjalanan mereka. Mereka kemudian menyadari betapa hati mereka berkobar-kobar kala berjalan bersama dan mendengarkan tuntunan Tuhan. Hati mereka yang semula suram karena frustasi kehilangan Sang Guru, hampir padam semangatnya, kini dinyalakan, dikobarkan dan dibakar lagi.
Bersama dengan Tuhan dan duduk bersama dalam meja makan sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan dalam hidup anak-anak-Nya membuat hati yang hampir putus asa, kini melihat secercah cahaya harapan. Berjalan bersama Tuhan dan mengajak Tuhan terus tinggal bersama mereka, membuat semangat yang hampir padam kembali dibangkitkan, yang lemah kembali dikuatkan, yang sedih dihiburkan dan yang merasakan kehilangan kembali dipulihkan. Oleh karena itu, selain persilakan Tuhan menemani perjalanan perziarahan hidup kita, ajaklah Ia untuk tinggal bersama kita dan rasakan pemeliharaan-Nya yang ajaib.
Ketiga, perubahan terjadi setelah perjumpaan. Pada suatu ibadah Paskah Subuh di GKI Perumahan Citra 1 beberapa tahun lalu, ada lagu yang dinyanyikan PS Ekklesia berjudul Without His Cross. Sebagian liriknya menyatakan demikian:
Without His tears there is no comfort (kesukaan)
Without His death there is no life
Without His blood there is no pardon (ampunan)
Without His cross there is no crown.
Lagu ini mau mengingatkan bahwa jalan salib yang menyakitkan, penuh darah dan air mata bahkan membawa kematian, menjadi jalan cinta Tuhan yang agung untuk kebaikan dan keselamatan manusia. Karena salib, ada mahkota.
Berjumpa dengan Tuhan yang penuh cinta itu, manusia mesti tergetar dan gentar karena kagum. Itu juga yang tampaknya dialami oleh Kleopas dan temannya. Setelah mereka dicerahkan dan mengenal Tuhan dalam perjumpaan di rumah mereka, keduanya mengalami perubahan! Kleopas dan temannya juga mengalami energi dan daya yang luar biasa meledak-ledak setelah berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Kenapa bisa begitu? Itu karena mereka berjumpa dengan cinta Tuhan yang bisa mereka rasakan. Namun, cinta Tuhan itu tidak membuat seseorang tergila-gila dan agak kurang waras sehingga melakukan hal yang irrasional.
Kalau tadi Andar Ismail menyebut ada serotonin yang bila jatuh cinta malah kadarnya menurun dalam otak kita sehinggamembuat orang bisa kurang waras dan melakukan hal-hal irasional, maka di sisi lain, cinta – mencintai dan perasaan dicintai juga menghasilkan zat dopamin. Dalam keadaan normal, dopamin yang dihasilkan otak orang yang mencinta dan merasakan cinta akan menciptakan semangat dan minat menghasilkan sesuatu yang berguna.
Perasaan dicintai Tuhan yang rela mati dan bangkit untuk menyelamatkan mereka membuat Kleopas dan temannya begitu bersemangatnya sehingga mereka bisa melakukan hal-hal yang luar biasa. Di tengah keletihan setelah menempuh perjalanan sejauh kira-kira 11 km selama minimal 1 jam perjalanan, ditambah gelapnya malam dan dingin yang menusuk, mereka penuh semangat segera kembali ke Yerusalem menemui kesebelas murid Yesus untuk membagikan pengalaman yang mereka alami saat bertemu Yesus yang sungguh-sungguh bangkit.
Perjalanan menuju matahari terbenam (road to sunset) yang diisi dengan kemuraman dan ketiadaan harapan, berubah menjadi perjalanan menuju matahari terbit (road to dawn) yang diisi sukacita dan kekuatan baru karena telah berjumpa dengan Yesus yang bangkit.
Bagaimana dengan kita? Cinta Tuhan yang agung itu tidak membuat Tuhan tergila-gila dan kehilangan kesadaran karena kadar zat serotonin-nya menurun sehingga melakukan hal-hal yang irasional. Tuhan dengan penuh kerelaan dan kesadaran menempuh jalan salib, jalan penuh luka dan derita sebagai bukti keagungan cinta-Nya, bukan sesuatu yang irrasional dan tak masuk akal, melainkan sesuatu yang suprarasional dan melampaui akal manusia.
Mestinya orang yang punya cinta, bisa mencintai dan merasa amat dicintai begitu luar biasa membuat kadar zat dopamin dalam otak kita meningkat dan itu membuat kita bersemangat dan bergairah untuk melakukan hal-hal yang berguna, bahkan melampaui dari apa yang bisa kita pikirkan. Bukan kita menjadi pribadi yang irrasional, melainkan bersama Tuhan yang bangkit, yang jalan cinta-Nya telah menjumpai kita, membuat kita yang biasa-biasa saja ini melakukan hal-hal yang luar biasa, kreatif, dan suprarasional di tengah masa depan yang penuh ketidakpastian, bukan untuk gagah-gagahan, tetapi supaya kita bisa terus melanjutkan perjalanan hidup yang memuliakan Tuhan dan jadi berkat bagi sesama.
Selamat Paskah. Selamat berjumpa dengan Tuhan dan cinta-Nya yang agung serta selamat mencintai Tuhan dan merasakan dicintai oleh-Nya dengan luar biasa.
Pdt. Danny Purnama