Nyanyian “Kami Bangkit dari Abu”

Nyanyian “Kami Bangkit dari Abu”

Halo pembaca Paideia! Bagaimana kabar Anda selama menjalani perziarahan Rabu Abu? Semoga kita dapat semakin mengenal pribadi Yesus melalui perziarahan kali ini. Dalam kesempatan ini, Paideia akan membahas tentang sebuah lagu yang mungkin tidak asing lagi didengar selama Masa Raya Paskah ini, yaitu lagu berjudul “Kami Bangkit dari Abu”. Lagu yang ditulis oleh Tom Conry pada tahun 1978 ini dipilih sebagai lagu tema selama Masa Raya Paskah 2021. Sama seperti lagu “Malam Kudus”, yang umumnya terasa tidak lengkap jika tidak dinyanyikan saat Natal, Kebaktian Rabu Abu di Amerika Utara terasa belum lengkap jika tidak menyanyikan lagu dengan judul asli “Ashes” ini.

Namun, dalam penerapannya, lirik lagu “Ashes” ini memunculkan beberapa kontradiksi jika makna dari lirik lagu tersebut digali lebih dalam. Pertama, dalam liriknya tertulis “we rise again from ashes, to create ourselves anew” atau dapat diterjemahkan menjadi “Kami bangkit dari abu, untuk memperbarui diri kami”. Bukannya pembaruan diri manusia tidak berasal dari upaya manusia itu sendiri, melainkan berasal dari kuasa Tuhan semata? Lalu, permasalahan yang kedua terdapat dalam lirik “an offering of ashes, an offering to you” atau yang dapat diterjemahkan menjadi “Persembahan abu kami, menjadi persembahan bagi-Mu”. Bukannya yang semestinya kita persembahkan adalah diri kita, bukan abu yang hanya sebuah simbol dari sebuah pertobatan? 

Menanggapi kritik yang diberikan pada lagu ini, Oregon Catholic Press (OCP) melakukan revisi terhadap lirik lagu “Ashes” pada tahun 2019. Akan tetapi, sebelum buku nyanyian edisi revisi terbit, terjadilah pandemi COVID-19. Penyebaran virus berukuran mikroskopik itu berdampak sangat besar bagi kehidupan secara global dan bahkan dapat dibilang virus itu telah menggelapkan dunia. Virus ini membuat kelemahan dan keringkihan yang sebelumnya tidak terlihat atau cenderung kita abaikan menjadi terlihat dengan jelas hingga tidak dapat diabaikan. Pandemi ini membuat kita sadar bahwa kita bagaikan debu yang cukup dengan satu hembusan angin dapat dihilangkan. 

Selama menjalani pandemi, lagu “Ashes” ini dapat dimaknai dari perspektif yang lain. Saat ini, manusia sedang terpuruk, tetapi kita juga sedang bangkit dari abu. Kita menantikan dan mengupayakan pemulihan dari Tuhan, Pribadi yang akan memulihkan semesta dan “menjadikan segala sesuatu baru”. Berangkat dari perspektif itu, lagu “Ashes” diterjemahkan (bebas) oleh Pdt. Juswantori Ichwan untuk dipakai dalam kebaktian Rabu Abu sampai Paskah di jemaat-jemaat GKi Sinode Wilayah Jawa Barat. Sebagian mengacu pada teks asli, sebagian lagi memperhatikan konteks situasi saat ini. 

Ziarah kehidupan kita semestinya berjalan dari Rabu Abu menuju Pentakosta, dari abu menuju api, dari keringkihan dan keberdosaan menuju semangat pemulihan. Banyak manusia kini merasa seperti bulu yang patah terkulai (irreversible). Namun kenyataannya, kita masih diberikan kemampuan untuk bangkit dari kondisi saat ini, bangkit dari abu. Tepat seperti bunyi Firman Tuhan, “Sebab bulu yang patah terkulai tidak akan dipatahkan Tuhan.”  Kita rapuh, tetapi bukan berarti tidak berdaya. Dengan memasrahkan diri kepada Tuhan, diri yang rapuh ini bisa dikuatkan oleh kuasa-Nya, bahkan menjadi alat kasih-Nya. 

Selamat menjalani perziarahan dalam Masa Raya Paskah. God Bless you. 

 

 

__

Artikel ini mengacu pada Artikel yang dipost di Facebook SinodeGKI dan dapat dibuka melalui Link:

 Nyanyian "Kami Bangkit dari Abu"

 

Ilustrasi oleh Ahna Ziegler & Sabine van Straaten dari Unsplash.com

Berita Terkait
Komentar
Tinggalkan Komentar