DIMULAI DARI KELUARGA
Dalam era new normal ini, terdapat kebiasaan-kebiasaan baru yang harus kita terapkan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 semakin menyebar luas, antara lain dengan selalu memakai masker, menjaga jarak dengan orang lain, rutin mencuci tangan, memakan makanan yang sehat, istirahat yang cukup, mengelola stres dengan baik, dan sebagainya. Kita juga diimbau untuk tetap stay at home, sebisa mungkin melakukan aktivitas dari rumah, seperti Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH). Artinya, kita akan melakukannya dengan metode online menggunakan digital teknologi.
Pandemi Covid-19 ini menghantam hampir semua sektor bidang, salah satunya adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan terpaksa harus mengubah metode pembelajaran yang tadinya offline learning menjadi online learning. Itu sebabnya, digital teknologi menjadi sarana yang dimanfaatkan untuk dapat mewujudkan online learning. Namun, hal itu bukan berarti bahwa digital teknologi ini menggantikan pendidik dari profesinya karena secanggih apa pun teknologi, tidak akan bisa menggantikan ketulusan hati pendidik dalam mengajar, yang merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan.
Di sisi lain, meskipun pembelajaran online semakin marak di mana-mana, tetap masih ada lembaga dalam masyarakat yang menerapkan offline learning dalam situasi pandemi ini, yaitu keluarga. Dengan stay at home, tentunya kita akan selalu memiliki waktu untuk bertatap muka dengan semua anggota keluarga hampir setiap hari. Keluarga menjadi lembaga tempat kita semua pertama kali mengalami apa yang namanya proses belajar. Bahkan, melalui wadah keluargalah kita dapat memberi atau menerima pengaruh yang sangat besar atas perkembangan spiritual, watak, karakter maupun intelektual. Itu sebabnya, proses belajar tidak hanya terjadi pada lembaga pendidikan sekolah saja, melainkan dapat juga terjadi di mana pun kita berada, termasuk di rumah, di keluarga kita. Hal ini terkonfirmasi di dalam Alkitab, yaitu di dalam kitab Ulangan 6: 4-9 yang mengatakan:
4. Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
5. Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.
6. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,
7. haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
8. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu,
9. dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
Jika kita perhatikan pada ayat yang ketujuh, kita mendapat gambaran bahwa setiap tempat dan waktu dapat digunakan untuk belajar dan mengajar. Artinya, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan sebagai momen belajar dan mengajar. Dalam kondisi new normal, yakni ketika kita diimbau untuk stay at home, sebenarnya menjadi sebuah momen yang langka bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya lebih intens. Akan menjadi penyesalan pada kemudian hari jika orang tua menyia-nyiakan momen yang berharga ini, sebab kita jarang mempunyai waktu yang banyak bersama dengan anak-anak kita. Oleh sebab itu, ada baiknya orang tua menjadikan momen berharga ini untuk mengajar anak-anak mereka agar bisa berproses melakukan perubahan diri menjadi manusia yang baru dengan melatih cara hidup disiplin rohani dan jasmani, yang secara khusus juga terkait dengan protap-protap yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, orang tua menolong anak-anaknya bertumbuh dalam pemahaman dan nilai-nilai kehidupan.
Dalam hal ini dibutuhkan sikap konsisten dalam mendidik anak-anak, sebab bagaimanapun juga orang tua adalah role model untuk anak-anaknya dalam mengasihi Tuhan sepenuh hati, jiwa, dan kekuatan. Tujuannya agar mereka dapat menempatkan segala perasaaan, pikiran, menundukkan emosi pada kehendak Tuhan, dan terus berupaya untuk melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya. Oleh karena itu, sebagai pendidik, orang tua diharapkan sudah menjadi “manusia yang baru” agar apa yang diajarkan kepada anak-anaknya dapat tertanam di sepanjang kehidupan mereka. Jangan justru menjadi garam yang sudah tawar, artinya kita gagal menjadi role model dalam hidup sebab kita tidak dapat menghidupi pada diri sendiri apa yang kita ajarkan kepada anak-anak kita (Matius 5: 13). Dibutuhkan intimacy dengan Tuhan agar orang tua bisa tetap berdiri kokoh menjadi role model bagi anak-anaknya dalam iman dan perbuatan.
Selain itu, dalam proses belajar ini juga dibutuhkan kesediaan anak-anak untuk mendengarkan didikan. Artinya, ada keterbukaan hati maupun kesediaan menerima dan menyimak −bukan malah prasangka− apalagi keinginan untuk melawan atau malah tertutup. Seperti yang kita baca dari kitab Ulangan 6: 4 bahwa pembelajaran dimulai dari mendengar. Itu sebabnya, Tuhan memulai pembelajaran-Nya kepada bangsa Israel dengan berkata: “dengarlah, hai orang Israel.”
Kesimpulannya, Tuhan ingin agar kita semua −baik orang tua maupun anak-anak− menjadikan hidup ini sebagai proses untuk belajar sebab dengan terus belajar, sesungguhnya kita sedang menabur benih di hati sendiri dan orang lain. Semua ini kita lakukan karena kita belajar dari Sang Guru yang sempurna dan sebagai bukti kasih dan bakti kita kepada-Nya dengan sepenuh hati, jiwa, dan kekuatan kita.
Pdt. Naya Widiawan
